Apabila seorang muslim mengetahui agungnya Al-Qur'an ini, dan mengetahui keutamaan-keutamaannya, yang tidak diketahui semuanya kecuali oleh yang menurunkannya, maka akan semakin besar perhatiannya terhadap Al-Quran yang mulia ini, dan akan lebih antusias terhadap dzikrul hakim ini. Maka ia akan mencurahkan usahanya, serta menghabiskan tenaga dan kemampuannya untuk mempelajari dan mengajarkan Al-Quran, juga mentadabburi dan mengamalkannya sesuai dengan kadar taufik dan pertolongan dari Allah.
Betapapun seorang muslim telah berusaha menunaikan hak – hak Al - Qur'an atasnya, dan telah berusaha menepati rasa syukur atas nikmat Kitabullah azza wa jalla, juga telah berusaha menunaikan hak – hak Kitabullah secara sempurna, tetap saja dia adalah seorang yang lalai dan lemah, akan tetapi Allah tabaraka wa ta'ala tetap akan merahmati, dan memberi karunia, serta menerima yang sedikit dan memberi balasan yang banyak.
Dalam firman-Nya, Allah swt mengagungkan perkara Al – Quran dengan kedudukannya yang tinggi. Oleh karena itu, seyogyanya seluruh hati manusia tunduk kepadanya dan tergetar seraya terpecah belah mendengarnya, karena di dalam terdapat janji yang benar dan ancaman yang keras.
Laksana sebuah gunung yang perkasa dan keras, seandainya dia memahami makna Al – Quran ini sebagaimana pemahaman akal manusia, lalu dia merenungkannya, niscaya ia akan tunduk terpecah belah karena rasa takut kepada Allah.
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (21)
“Kalau sekiranya Kami turunkan Al – Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan – perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir” (Al Hashr : 21)
Dengan permisalan gunung tersebut, Allah memerintahkan ummat manusia apabila datang sebuah ayat kepada mereka, supaya mengambilnya dengan rasa takut yang mendalam lagi penuh ketundukan.[1]
Dalam kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin As-Suyuthi dan Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahally. Ayat ini dijelaskan dengan perkalimatnya;
- (Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-quran ini kepada sebuah gunung) lalu dijadikan-Nya pada gunung tersebut akal sebagaimana manusia
- (pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah) terbelah-belah
- (disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu) yang telah disebutkan di atas tadi
- (Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir) yang karenanya lalu mereka beriman.
Di dalam sebuah hadist mutawathir telah ditegaskan, bahwa Rasulullah saw dibuatkan sebuah mimbar. Sebelumnya, ketika berkhutbah beliau berdiri di sisi batang pohon kurma yang ada di dalam masjid. Tatkala mimbar itu pertama kali dipasang, datanglah beliau untuk berkhutbah lalu melewati batang pohon kurma itu menuju mimbar. Pada saat itu, batang pohon kurma tersebut merintih seperti rintihan anak kecil, dan berhenti setelah mendengarkan dzikir dan wahyu di sisinya.[2]
Hadist tersebut sama persis seperti bunyi ayat suci ini, seandainya gunung-gunung yang tuli itu mendengar dan memahami Firman Allah ta’ala, pasti akan tunduk dan terpecah belah karna takut kepada Allah, dzikir-Nya, serta wahyu-Nya. Lalu bagaimana dengan manusia yang berakal dan memiliki panca indera untuk memahami firman-Nya ?
Itulah pelajaran yang dibuat untuk manusia dengan hatinya yang keras seperti batu, tidak mau menggunakan akalnya untuk merenung, bahkan lebih keras lagi dari batu tersebut. Padahal di antara batu itu ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah.[3] Begitu kerasnya hati dan fikiran manusia sehingga tidak terpengaruh karenanya serta tidak pula menjadi lunak atau tunduk.
[1] Hafiz Ibn al-Fada’ Isma’il Ibn Kathir, Tafsir Ibn Kathir Juz 3 (Lebanon-Beirut: Dar el-Ma’rifat) h. 617
[2] Al-Bukhori, Shohih Bukhori “Kitab Al Buyu”, bab “Nijar”. No 2095
[3] TQS : 2 : 74
0 Komentar